AbstractThe purpose of this paper is to describe the visual aesthetics of the third-grade students' painting based on lines, colors, shapes, and gradations, as well as to explain the type of ...painting. The method used is a qualitative type with a descriptive approach. Data collection techniques were carried out by means of observation, interviews, and document review. The results showed that based on the elements of fine art, the work of students had their beauty based on the perspective of each person who saw it, and there were various types of paintings by students. Still, the types of paintings that often appeared in the lower classes were naturalistic and transparency types. by following under the characteristics of lower-class students. Keywords: Painting, Visual Aesthetics, Children Painting Type. AbstrakTujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan estetika visual karya seni lukis peserta didik kelas III berdasarkan garis, warna, bentuk, dan gradasi serta menjelaskan tipe lukisan. Metode yang digunakan menggunakan jenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan unsur-unsur seni rupa, karya peserta didik memiliki keindahannya masing-masing berdasarkan sudut pandang setiap orang yang melihatnya, serta terdapat tipe lukisan peserta didik yang beragam, namun tipe lukisan yang sering muncul di kelas bawah adalah tipe naturalistik dan tipe transparansi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik kelas bawah. Kata Kunci: Seni Lukis, Estetika, Tipe Lukisan Anak.
Pendahuluan: Maloklusi dapat menimbulkan gangguan psikologis dan sosial (psikososial) akibat susunan gigi yang tidak estetik. Gangguan psikososial tersebut dapat mengukur kebutuhan dan keberhasilan ...perawatan dari sudut pandang pasien dengan lebih akurat. Pengukuran dampak psikososial akibat maloklusi dapat dilakukan dengan kuesioner Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire (PIDAQ). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan translasi dan memvalidasi kuesioner PIDAQ dalam Bahasa Indonesia. Metode: Jenis penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Prosedur penelitian diadaptasi dari pedoman yang dibuat oleh International Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (RDC/TMD) Consortium Network. Tahap pertama adalah tahapan linguistik, yaitu penerjemahan PIDAQ yang dibuat oleh Klages, et al., ke Bahasa Indonesia, evaluasi terjemahan PIDAQ Bahasa Indonesia, penerjemahan kembali PIDAQ Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, kemudian evaluasi akhir terjemahan PIDAQ Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Tahap kedua adalah tahapan uji validitas dan reliabilitas. PIDAQ dalam Bahasa Indonesia diberikan kepada 32 orang responden untuk melihat validitas dan reliabilitas PIDAQ dalam Bahasa Indonesia. Tahap ketiga adalah tahapan analisis. Hasil uji validitas dan reliabilitas dianalisis menggunakan analisis Pearson Product Moment, Intra-Class Correlation (ICC), Cronbach Alpha, dan analisis faktor menurut Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dan Bartlett’s Test of Sphericity. Hasil: Penelitian ini menghasilkan kuesioner PIDAQ Bahasa Indonesia yang valid dan reliabel berdasarkan analisis Pearson Product Moment, ICC, Cronbach Alpha, analisis faktor menurut KMO, dan Bartlett’s Test of Sphericity. Nilai-nilai analisis tersebut telah menyamai nilai asli pada PIDAQ. Translasi tersebut terdiri dari 23 pernyataan yang dibagi dalam empat dimensi. Simpulan: Kuesioner Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire mengukur dampak psikososial dari estetika gigi pada subjek di Indonesia dan setiap item dalam kuisioner valid dan reliabel. ABSTRACT Introduction: Malocclusion will lead to psychological and social (psychosocial) disorders due to unaesthetic dental arrangement. These disorders can measure the need and success of treatment from the patient’s point of view more accurately. The psychosocial impact of malocclusion can be measured using the Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire (PIDAQ). This study was aimed to translate and validate the PIDAQ questionnaire in Indonesian. Methods: A cross-sectional study was performed with the procedure adapted from guidelines developed by the International Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (RDC/TMD) Consortium Network. The first stage was the linguistic stage, which was the Indonesian translation of PIDAQ by Klages et al., evaluation of the Indonesian translation, retranslation of the Indonesian version of PIDAQ to the original version, and final evaluation of the Indonesian to English translation of PIDAQ. The second stage was the stage of validity and reliability testing. The Indonesian version of PIDAQ was given to 32 respondents to test its validity and reliability. The third stage was the analysis stage. The validity and reliability tests results were analysed using Pearson Product Moment, Intra-Class Correlation (ICC), Cronbach Alpha, and factor analysis according to Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) and Bartlett’s Test of Sphericity. Results: A valid and reliable Indonesian version of the PIDAQ questionnaire was able to be created based on the Pearson Product Moment, ICC, Cronbach Alpha, KMO factor analysis, and Bartlett’s Test of Sphericity results. The analysis values of the Indonesian version of the PIDAQ questionnaire were close to the original version’s values. The translation consisted of 23 statements divided into four dimensions. Conclusions: The Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire measures the psychosocial impact of dental aesthetics on Indo-nesian subjects, and each item in the questionnaire is valid and reliable.
Unutar umjetnosti radikalnog enformela nalazimo djela izražene nepikturalnosti, nesemantičnosti i nereferencijalnosti, kao i težnju prema entropiji, raslojavanju i razjedinjavanju forme kroz ...destruktivne procese deformiranja, perforiranja, urezivanja, grebanja, gomilanja struktura i masa, fragmentacije, skidanja slojeva i spaljivanja. U ovom je radu naglasak stavljen na teoretske modele tumačenja radikalnog enformela kroz koncepte estetike ružnoće, odnosno brutalne estetike, kao što su: (1) deformacija, (2) disfiguracija, (3) neformnost, i (4) entropija – na primjerima enformelnog stvaralaštva Ive Gattina, Eugena Fellera i Marijana Jevšovara, koji su proizašli iz njihovih svjetonazora prema umjetnosti i slici. Umjetnici su intencionalno stvarali slike koje nisu »lijepe« suprotstavljajući se klasičnim vrijednostima umjetnosti i ljepote kroz opozicijski i negacijski pristup, nihilizam, destrukciju, deformiranje i poništavanje slikarske površine kao vidovima anti-estetike.
In the art of radical Informel, we encounter works with emphasised non-pictoriality, non-semantics and non-referentiality, as well as a tendency towards entropy, layering and the disintegration of form through destructive processes such as deformation, perforation, incision, scratching, the accumulation of structures and masses, fragmentation, stripping and burning. In this paper, theoretical models of interpretation for the art of radical Informel are pointed out through the concepts of the aesthetics of ugliness, i.e. brutal aesthetics, such as (1) deformation, (2) disfiguration, (3) formlessness and (4) entropy – using the example of the informal works of Croatian authors Ivo Gattin, Eugen Feller and Marijan Jevšovar, which result from their attitude towards art and painting. The artists have deliberately created paintings that are not “beautiful” by opposing the classical values of art and beauty through oppositional and negative approaches, nihilism, destruction, deformation and the abolition of the surface of the painting as forms of anti-aesthetics.
Kacaping merupakan salah-satu produk budaya masyarakat bugis khususnya di kabupaten Sidrap, Sulawesi-Selatan. Secara estetika, kacaping memiliki nilai-nilai baik ekstrinsik maupun intrinsik, yang ...tentunya dapat menjadi nilai-nilai lokal sebagai peletak dasar pendidikan karakter bagi generasi penerus. Di dalam pendidikan formal dikenal domain yang terintegrasi ke dalam satu kesatuan pembelajaran yang menjadi sasaran atau tujuan dari pendidikan tersebut yakni kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek-aspek tersebut idealnya bersumber dari nilai-nilai lokal kedaerahan sehingga pendidikan karakter yang diharapkan benar-benar dapat terwujud sesuai sasaran yang diinginkan. Nilai-nilai kedaerahan sebagai dasar pembentukan karakter generasi terdapat dalam kacaping. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana nilai ekstrinsik kacaping sebagai konsep dasar kurikulum pendidikan formal berbasis pendidikan karakter pada masyarakat bugis di kabupaten sidrap, (2) bagaimana konsep pendidikan formal melalui nilai estetika kacaping pada masyarakat bugis di kabupaten Sidrap. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif melalui pendekatan etnomusikologi didukung dengan ilmu-ilmu lannya yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kacaping bugis di kabupaten Sidrap memiliki estetika yakni nilai-nilai baik nilai ekstrinsik maupun nilai intrinsik yang melekat pada kacaping, maupun pada penyajian kacaping tersebut di masyarakat. Dengan mengangkat nilai-nilai estetika kacaping ke dalam proses pendidikan formal berbasis pendidikan karakter maka tujuan pendidikan karakter yang diharapkan benar-benar dapat terwujud.
Seni tradisional masyarakat Melayu Muarajambi adalah seni rakyat dan belum tentu mampu memenuhi kebutuhan apresiasi kontemporer para wisatawan. Untuk alasan ini, diperlukan model seni pertunjukan ...kreatif bercitra global di kompleks candi Muarajambi yang mampu memenuhi apresiasi para wisatawan. Sementara itu, kegiatan wisata berada di pusat kehidupan masyarakat Melayu Muarajambi yang kebudayaannya secara ideal berdasarkan pada ajaran Islam. Di sisi lain, ketahanan budaya dibutuhkan seiring dengan penguatan budaya. Solusi akomodatif untuk melakukan kemasan seni untuk itu adalah, model normatif didasarkan pada estetika dan kesenian Melayu Muarajambi, serta Melayu pada umumnya dan kreativitas seni berorientasi pada artistika global.
U radu se istražuju problemi povezanosti i sukobljenosti dostupnih podataka o životu Marka Marulića i njegovih glasgowskih stihova, tematski i stilski raznovrsnih epigrama koji su otkriveni tek ...krajem 20. stoljeća, a bacaju potpuno novo svjetlo na Marulićeve tematske izbore. Relativno nedavno otkriven kodeks Sveučilišne knjižnice u Glasgowu u izdanju Darka Novakovića sadrži sto četrdeset jedan Marulićev epigram s prijevodom, kazalima, komentarima i pogovorom. Novakovićevoj pomnoj sadržajnoj i filološkoj analizi dodat ćemo stilističko čitanje s osvrtom na najčešća stilska sredstva kojima je Marulić postizao različite funkcije. Promatrat ćemo odnos snažne figurativnosti i retoričke vještine na ograničenu prostoru epigrama. Kao najvažnije mjesto Marulićevih novootkrivenih epigrama istaknut ćemo estetiku šoka koja u čitatelju može nastati zbog izvanjezične aporije moralnog života temeljenog na kršćanskom nauku te informacija o razvratnim mladenačkim epizodama zbog kojih je skoro izgubio život. Druga će snažna opreka biti osvrt na neke Marulićeve religiozne stavove iznesene u „Evanđelistaru” koji se snažno opiru rječniku, tematici i uzorcima ponašanja koji su izneseni u izabranim epigramima glasgowskih stihova. Cilj je rada ukazati na dvojnu narav Marulićevih djela koju potvrđuje postojanje ljubavnih, satiričnih, pa čak i sasvim nepristojnih stihova u epigramima, a koji stoje u opreci s Marulićevim djelima utemeljenima na strogom moralizmu kršćanskih svjetonazora.
Cerita Punakawan dalam karya komikus Tatang S. pernah sangat populer di tahun 80-an hingga 90-an. Cerita Punakawan yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong ini juga pernah diangkat dalam ...program Ria Jenaka di TVRI pada era yang sama. Ada banyak makna tentang perilaku masyarakat yang disampaikan dalam cerita Punakawan tersebut, di antaranya makna budi pekerti. Budi pekerti merupakan sikap dan perilaku masyarakat yang diperlukan dalam interaksi sosial. Penyampaian pesan tentang budi pekerti melalui komik menjadi hal menarik untuk dianalisis karena penciptaan komik di era teknologi informasi saat ini tidak lagi baku pada bentuk-bentuk komik yang konvensional. Studi ini mencoba memvisualisasikan bagaimana memaknai budi pekerti dalam seni kreativitas komik kontemporer. Secara kualitatif, pembahasan dalam studi ini menggunakan prinsip-prinsip estetika dengan pendekatan pra-ikonografis, ikonografis, dan ikonologis. Studi ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam penyampaian pesan sosial budaya melalui seni kreativitas komik.
Film menjadi sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi ...lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru. Dalam penelitian ini, penulis mencoba menganalisi sebuah salah satu film yang mengangkat lokalitas budaya masyarakat Minangkabau yaitu Film Thropy Buffalosutradarai Vanni Jamin. Analisis film ini melakukan pendekatan terhadap Parodi, yang merupakan bagian dari Estetika Posmodern. Praktek budaya posmodernisme ditandai dengan suatu pergeseranyaitu dari estetika produksi ke estetika konsumsi di mana nilai-nilaipermainan dalam estetika menunjukkan kenaikan yang penuh daya. Parodi adalah satu bentuk dialog sebagaimana konsep dialog yang bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat lelucon darinya. Dalam film Film Tropy Buffalo, penulis melihat bahwa film tersebut merupakan representasi dari kebudayaan minangkabau yang kemudian di parodikan sebagai bentuk perlawanan oleh pengkarya dalam melihat kehidupan masyarakt Minangkabau.
Gagasan menciptakan karya seni terkadang berasal dari lingkungan sekitar, di antaranya yang banyak digunakan sebagai ide ialah kupu-kupu yang perkembangbiakannya melalui proses metamorfosis. ...Metamorfosis Kupu-kupu dipilih sebagai gagasan komposisi musik karena memiliki metamorfosis sempurna, atau holometabolisme. Penerapan gagasan Metamorfosis Kupu-kupu dalam komposisi ini menggunakan unsur ekstra-musikal sebagai gagasan dasar penciptaannya. Elemen ekstra musikal tersebut ditransformasikan ke dalam ide musikal dengan menggunakan unsur musikal di wilayah musik tonal. Karya ini dibuat oleh sumber program musik apelatif, yaitu yang dapat menempatkan karakter tertentu menjadi judulnya. Musik program musikal ini dibudidayakan dengan mengeksplorasi bentuk dan harmonisasinya. Pada karya ini penulis memperdalam ide dengan konsep-konsep harmoni, melodi, dinamika dan timbre. Penggunaan ukuran elemen eksplorasi dan pengolahan konsep-konsep tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap orisinalitas karya. Metamorfosis Kupu-kupu dilambangkan dengan catatan kunci soprano yang tenang pada bagian awal, kemudian menjadi lebih kompleks, dan didasarkan atas harmoni dan ritme yang dipertahankan sebagai iringan dengan penggunaan arpeggio sehingga menciptakan amosfir tenang pada proses tahap metamorfosis. Pemilihan alat musik yang tepat, penggunaan teknik-teknik kontrapung stretto, modus, polikordal, metrik, dan juga motif ekspansi maupun penyempitan yang digunakan dalam budidaya, diharapkan dapat memberi warna baru dalam penciptaan karya seni musik dan orisinalitasnya.
After Kant the meaning of freedom is considered not so much as inner experience, but rather as a requisite to understand the world. In this regard an act of freedom is not one among many human acts, ...but their precondition and cause. In its highest reaches freedom thus provides existence with a final possibility in which it presents itself as an aesthetic monolith. Aesthetics of freedom considers its sublimity, one that confronts the misery of suffering its deprivation. The syncope of freedom consists in itself its aesthetic feasibility as a lunge equal to reaching, but not discovering freedom, the same freedom many have viewed differently in numerous moments of aspiration through the ages, but have never discovered it in the entirety of its sublimity due to evading responsibility for it. This presentation attempts to contribute to understanding whether the philosophical concept of freedom is in fact comparable to a square circle (Arendt).