This study aims to find local aesthetic values and local economic values as a result of the interaction of local values and global values in the management of tourism destinations in North Bali. The ...method used is a literature review method based on qualitative descriptive analysis. The findings of this study are that the element of locality in the management of tourism destinations in North Bali is formed from the embodiment of aesthetic values and local economic values which are believed to be local wisdom of the community, and these two values are dominant. The values brought by tourists can have positive (tonic) and negative (toxic) implications, as well as being a driver of value change for local communities. The contribution of aesthetic value and local economic value to the values brought by tourists has not been optimal in managing tourism destinations in North Bali.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan bentuk estetika persepsi pendidikan seni tari sebagai konsep dalam pengembangan seni tari perguruan tinggi Islam di Indonesia. ...Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik pengambilan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Akurasi data dilakukan dengan teknik triangulasi teknik dan sumber, selanjutnya dianalisis dengan model analisis data Milles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep estetika persepsi seni tari muncul untuk menjembatani berbagai macam penafsiran tentang tari Islami. Estetika persepsi seni tari dalam pendidikan tinggi Islam merupakan hasil dari pertemuan antara Islam, seni tari dan pendidikan. Pendidikan sebagai lembaga penerjemah ilmu pengetahuan mengakomodasi kebutuhan estetika dalam seni dan etika dalam norma agama menjadi bagian dari dasar pembentukan tari Islami. Diharapkan rumusan estetika persepsi ini dapat digunakan sebagai acuan dalam pengembangan pendidikan seni tari di perguruan tinggi Islam di Indonesia. Abstract: This study aims to analyze and describe the aesthetic form of dance education perception as a concept in the development of dance Islamic tertiary institutions in Indonesia. The research method used was qualitative with observation, interview, and documentation data collection techniques. Data accuracy finished by triangulation techniques and source techniques, then analyzed with the miles and Huberman data analysis models. The results showed that the concept of aesthetic perception of dance emerged in order to bridge various interpretations of Islamic dance. The aesthetic perception of dance in Islamic higher education is the result of a meeting between Islam, dance, and education. Education as an institution translating knowledge accommodates the aesthetic needs in art and ethics in religious norms to be part of the basis for the formation of Islamic dance. Hopefully, this aesthetic perception formulation can use as a reference in the development of dance education in Islamic tertiary institutions in Indonesia.
Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng adalah sebuah tari sakral yang memiliki keunikan salah satunya terletak pada gerak tarinya. Memahami dan mengetahui ...estetika gerak dalam Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong merupakan tujuan penelitian ini. Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi tidak berstruktur, teknik wawancara, studi dokumentasi, dan studi kepustakaan. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, diperoleh kesimpulan yaitu gerak Tari Rejang Sakral Lanang di Desa Mayong hanya terdiri dari empat gerakan yang selalu dipergunakan secara berulang-ulang dari awal tarian hingga akhir tarian, sehingga struktur dari tarian ini menggunakan struktur tunggal. Adapun empat gerakan tersebut meliputi: agem, nengkleng, nindak, dan nutup. Gerakan pada tarian ini memiliki estetika karena sesuai dengan pendapat dari Thomas Aquinas yang berpendapat bahwa, keindahan meliputi tiga persyaratan yaitu kesatuan, perimbangan, dan kejelasan. Kesatuan dapat dilihat dari gerak dalam tari tersebut didukung dengan tata busana, tata rias, tempat pementasan dan musik iringan tari sesuai dengan karakter tari; Keseimbangan dapat dilihat dari pengulangan gerakan dari kanan ke kiri maupun dari kiri ke kanan karena disebabkan struktur dalam tarian serta adanya keharmonisan antara desain lantai dan desain atas; Kejelasan gerak Tari Rejang Sakral Lanang dapat dilihat dari pementasannya yang menampilkan hanya empat gerakan saja yang diulang-ulang dari awal hingga akhir tarian. Gerakan yang dilakukan juga didukung oleh penari, tata busana, tata rias, dan tempat pementasan yang juga dapat dilihat kejelasannya.
Salah satu strategi utama KEMENPAR dalam menarik wisatawan di tahun 2018 adalah menggunakan strategi “Destinasi Digitalâ€. Destinasi digital adalah strategi dimana pemangku kepentingan menciptakan ...suatu kondisi yang viral di media sosial berkaitan dengan objek wisata. Untuk menciptakan kondisi viral tersebut, KEMENPAR menciptakan spot-spot di objek wisata yang fotogenik sehingga wisatawan kemudian tergerak untuk merekam dan membagi pengalaman wisata mereka di media sosial khususnya Instagram. Salah satu faktor penting dalam menarik wisatawan lain dalam strategi “Destinasi Digital†adalah karya fotografi yang merekam keindahan pengalaman mereka di objek wisata dalam bingkai estetika “Instagramableâ€. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan estetika “Instagramable†yang mengkonstruksi keindahan persuasif karya-karya fotografi tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif melalui teori Estetika Fotografi dari gaya-gaya visual yang mengkonstruksi estetika “Instagramableâ€, khususnya dalam mem-viral-kan objek wisata di Era “Destinasi Digitalâ€.
Artikel ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk dapat mengetahui dan memahami keterpinggiran Tari Cak Bedulu dalam seni pertunjukan pariwisata Bali. Penelitian ini dilakukan ...karena dilatari adanya ketimpangan antara asumsi dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Semestinya sebagai pelopor seni pertunjukan pariwisata Bali, kelompok kesenian ini paling sering ditampilkan dalam aktivitas kepariwisataan. Namun kenyataannya hal ini berbeda. Walaupun Cak Bedulu merupakan pelopor kesenian Cak untuk pariwisata Bali, kelompok kesenian ini justru mengalami keterpinggiran. Pertanyaannya: (1). Mengapakah kelompok kesenian ini mengalami keterpinggiran?; (2). bagaimanakah bentuk pertunjukannya?; dan (3). apakah implikasinya bagi masyarakat dan seni pertunjukan Bali?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah pertunjukan Cak Bedulu, para pihak terkait, dan masyarakat di Desa Bedulu, Bali. Data yang dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, FGD, dan studi pustakaan dianalisis dengan teori estetika, teori seni pertunjukan pariwisata, dan teori relasi kuasa pengetahuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1). Kelompok kesenian Cak Bedulu mengalami keterpinggiran karena cara penyajiannya kini sudah tidak sesuai lagi dengan ideologi pasar, ideologi seni pertunjukan pariwisata, dan ideologi budaya masyarakat di Desa Bedulu; (2). Kesenian Cak Bedulu disajikan dalam bentuk sendratari dengan lakon Ramayana. Hal itu dapat dilihat dari cara penyajian, struktur pertunjukan, dan tata rias busana pertunjukannya; (3) Keterpinggiran Cak Bedulu secara tidak langsung berimplikasi pada hilangnya media berkesenian, hilangnya masukan finansial dari kegiatan berkesenian, dan hilangnya identitas budaya lokal.
straipsnis ir santrauka lietuvių kalba; santrauka anglų kalba
Šiame straipsnyje bandoma aiškintis, kaip balsas, garsas ir triukšmas tampa ugdymo objektu, instrumentu, aplinka ir kodėl jis svarbus ...dabarties ugdyme. Atsiribojus nuo grynai muzikinio ugdymo ir jo tikslų bei reikšmės meniniam ugdymui, straipsnyje diskutuojamos skirtingos teorijos ir jų prieigos, siekiama suprasti, kokią naudą gali teikti garso bendrajame ugdyme tyrimai ir ugdymas garsu. Analizei pasirinktos tradiciškai šiai tematikai taikomos kritine teorija paremtos kritinės pedagogikos prieigos. Šios, pabrėžiančios ugdytinio „balsą“, pratęsiamos postmodernistinės ir posthumanistinės ugdymo filosofijos prieigomis, kurioms rūpi garsas kaip aktualizuotas ir kaip potencialus bei triukšmo, kaip nepageidaujamo garso, percepcija. Galiausiai įvertinama, kad būdamos skirtingos daugeliu ugdymo tyrimų atvejų abi prieigos (kritinės pedagogikos ir postmodernistinės bei su ja siejamos posthumanistinės ugdymo filosofijos) yra viena kitą pastiprinančios ir atveriančios iki šiol nepakankamai suprastą ugdymo garsu reikšmę.
The article explores the relationship of disabled persons and theater, starting with the work of the Per-Art Association. In the first part, the author emphasizes that the mode of on- togeny of ...social solidarity with the disabled persons did not result in their greater representation in the arts but in a lesser one. After pointing out that the presence of disabled persons on the canvas has for centuries been reduced to a mechanisms thanks to which the everyday awareness of the “common” grew stronger, and rejected with ease all that deviated from the socially accept- able norms, the author analyzes the specificity of the inclusive gestures on the contemporary theater scene. Unlike the introduction of specific characters with disabilities into the conven- tional plays, the author points out that the everyday regime of care recognizes the disabled persons as objects, which must be taken care of by someone, while the conditions of the group artistic work enable them to tailor their own character so they need not rely upon the expectations and concepts of others. In the second part of the paper the author confronts the Foucault’s term of aesthetics of existence with the theater work of the disabled persons. Appearing within a group, such persons enable a moral conversion, as the meaning of the scene movement transforms into an independent moral request. Meeting the foreign of the disabled persons, for the audience, becomes a synonym for a breakthrough in the egoistical search for the self in others, and for the actors themselves, marks a chance to break the social separation.
Membicarakan karya komposisi dan aransemen musik dalam konteks musik di Indonesia merupakan hal yang cukup membingungkan. Semakin hari batas antara keduanya semakin dimaknai sebagai proses yang ...bertolak belakang, padahal sesungguhnya merupakan proses yang saling bertautan dan tidak terpisah. Persoalan ini kiranya perlu untuk segera diuraikan agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami karya musik yang semakin larut. Berbekal pengalaman dalam komposisi dan aransemen musik, Joko Lemazh dan karyanya Fantasia for Piano and Orchestra, Theme from The Indonesia Pusaka Music by Ismail Marzuki menjadi pilihan tepat untuk mengurai persoalan tersebut. Systematic musicology dan tinjauan sejarah musik menjadi pintu pertama dalam menganalisis karya. Melalui pintu tersebut pembicaraan akan mengarah pada pencarian nilai estetis dalam karya sebagai upaya memahami kedalaman antara komposisi dan aransemen musik. Dengan mempraktikan deep listening, setidaknya ditemukan empat aspek dalam membentuk kemenarikan atau attractiveness sebagai estetika musik dalam karya ini. Empat aspek tersebut meliputi kerumitan, momentum, keindahan, dan vistuositas. Merujuk uraian dalam tulisan ini, dapat dikatakan bahwa komposisi dan aransemen bukan sebuah proses yang berbeda melainkan proses yang bertautan dan tidak terpisah. Hal yang membedakan hanyalah tujuan memberi pengalaman attractiveness kepada pendengar, dan upaya ini hanya bisa dilakukan dengan kedalaman pengolahan struktur formal musiknya.
Straipsnyje nagrinėjamos XVl–XVIII a. visuotinės ir Ukrainos estetikos istorijos ypatybės. XVI–XVIII a. pasaulinėje estetikoje, patyrusioje aiškią Renesanso epochos estetinių atradimų įtaką, ...pastebimi prieštaringi procesai, kuriuos sukėlė pažangių ir reakcingų koncepcijų kova. Renesansiškas pasaulio suvokimas pamažu virsta krizės nuojauta, kurios estetinė išraiška yra barokinis menas. A. Baumgartenas pagrindė estetinio mokslo, kaip jausminio suvokimo teorijos, objektą. Analizuojama, kaip šie procesai atsispindi Ukrainos ir kaimyninių tautų estetinės minties raidoje. Teigiama, kad XVI a. pabaigos ir XVII a. pradžios laikotarpį galima laikyti savitu estetinės savimonės vystymosi etapu, kuriam būdingas eilėdarinės poezijos, žodinių priemonių sąmoningas panaudojimas, siekiant estetiškai paveikti tuos, kuriems skirtas kūrinys. Šiuo laikotarpiu Ukrainoje estetinė savimonė reiškiama ne tik literatūros ir meno kūriniuose, bet ir filosofijos, logikos, retorikos bei poetikos darbuose, todėl apie šį laikotarpį galima kalbėti kaip apie estetinės minties vystymosi iš pirminio daiktiško, jutiminio mąstymo sinkretizmo į abstraktų loginį pažinimą naują etapą.
U ovom radu bavim se pitanjem angažirane filozofije s naglaskom na estetiku i filozofiju umjetnosti. Pozivajući se na neke konkretne probleme o kojima se raspravlja unutar ovih domena – napose ...problem klimatskih promjena, ekološke krize i nemoralne umjetnosti – pokazujem da filozofija može biti angažirana na dva načina: (i) u svojoj težnji za propitkivanjem društvene zbilje, kulture, ljudskog iskustva i strategija koje čovjek koristi da bi u tom iskustvu uvidio smisao i vrijednosti; (ii) u težnji da kroz svoj doprinos razumijevanju takve zbilje i tog iskustva doprinese boljitku pojedinca i društva. Rad započinjem ukazujući na povezanost filozofskih pitanja i osnovnih intelektualnih težnji čovjeka kao društvenog i kulturnog bića, ali i autonomnog spoznavatelja i vrednovatelja. U drugom dijelu odgovaram na dva prigovora koja se mogu uputiti angažiranoj filozofiji: (i) prigovoru koji ukazuje na nedostatak konsenzusa među filozofskim odgovorima (problem neslaganja) i (ii) prigovoru koji ističe irelevantnost filozofskih debata za naše društvene prakse.
In this paper, I address the question of engaged philosophy with an emphasis on aesthetics and the philosophy of art. Referring to some specific problems discussed in these areas – in particular climate change, ecological crisis and immoral art – I demonstrate that philosophy can be engaged in two ways: (i) in its aspiration to question social reality, culture, human experience and the strategies for making sense of and finding value in that experience; (ii) in the aspiration to contribute to the well-being of individuals and society through its contribution to understanding that reality and experience. First, I point to the connection between the philosophical questions and the fundamental intellectual aspirations of human beings as social and cultural beings, but also as autonomous knowers and valuers. Second, I respond to two objections that can be directed against engaged philosophy: (i) one that points to a lack of consensus among philosophical responses (the problem of disagreement), and (ii) one that highlights the irrelevance of philosophical debates to our social practice.