Respons stres adalah perubahan hormon dan metabolik yang terjadi setelah trauma seperti pembedahan, salah satunya terjadi peningkatan kadar kortisol. Dexmedetomidine dapat menurunkan respons stres ...dengan menghambat sintesis kortisol. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek dexmedetomidine terhadap kadar kortisol pada pasien yang menjalani operasi ginekologi dalam anestesi umum yang dilakukan di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang dari Januari–Maret 2018. Jumlah sampel 30 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok dexmedetomidine dan kelompok plasebo. Kelompok dexmedetomidine mendapatkan dosis dexmedetomidine awal 1 µg/kgBB selama 10 menit dilanjutkan 0,5 µg/kgBB/jam, 20 menit sebelum induksi. Pada kelompok plasebo menggunakan NaCl 0,9%. Induksi menggunakan propofol, fentanil 2 µg/kgBB, dan atrakurium 0,5 µg/kgBB serta pemeliharaan menggunakan sevofluran 3% dalam O2 dan N2O 50%:50%. Kemudian 1 jam pascaekstubasi diambil sampel darah kembali untuk pemeriksaan kadar kortisol. Hasil penelitian pada kedua kelompok terjadi peningkatan kadar kortisol saat 1 jam pascaekstubasi dibanding dengan awal (9,638±7,082 µg/dL menjadi 14,503±7,082 µg/dL pada kelompok dexmedetomidine dan 10,276±3,166 µg/dL menjadi 19,99±6,273 µg/dL pada kelompok placebo). Namun, kadar kortisol signifikan lebih tinggi pada kelompok plasebo. Simpulan, pada kedua kelompok terjadi peningkatan kadar kortisol dibanding dengan nilai awal, tetapi kadar lebih rendah pada kelompok dexmedetomidine.
Kombinasi analgesia epidural (AE) dengan obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) seperti ketorolak dan parecoxib sebagai analgesia preventif diperlukan untuk mengurangi nyeri pascabedah. Penelitian ...ini bertujuan mengetahui efek OAINS sebagai analgesia preventif pada pascabedah laparatomi ginekologi berdasar atas perubahan kadar prostaglandin-E2 (PGE2) dan intensitas nyeri. Penelitian bersifat eksperimental acak tersamar ganda dengan jumlah sampel 60 pasien. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makasar bulan Maret–Juni 2017. status fisik 1 dan 2 menjalani laparatomi ginekologi dengan anestesi epidural. Subjek dibagi 3 kelompok, yaitu ketorolak (K) 0,5 mg/kgBB intravena, parecoxib (P) 40 mg intravena, dan plasebo (N) NaCl 0,9% 2 mL yang diberikan 30 menit sebelum insisi, 8 jam, dan 16 jam pascabedah. Data dianalisis dengan uji one-way ANOVA, uji Exact Fischer, uji Mann-Whitney U pada batas kemaknaan α=5%. NRS=1 pada kelompok K dan P saat insisi hingga 16 jam pascabedah dan berbeda signifikan (p<0,05) dengan kelompok N; 15% mengalami peningkatan intensitas nyeri (NRS=2) 8 jam pascabedah. Kadar PGE2 pada plasebo paling tinggi (439,7±35,1; 481,7±60,1; 565,1±58,7), berbeda signifikan (p<0,05) dengan parecoxib (230,7±19,5; 221,4±16,4; 201,1±18,1). Ketorolak berada di antara keduanya. Simpulan, parecoxib dan ketorolak sebagai analgesia preventif yang dikombinasi AE pada pasien bedah laparatomi ginekologi dapat menekan nyeri dan mengurangi produksi PGE2. Efek parecoxib lebih kuat daripada ketorolak mengurangi produksi PGE2, tetapi sama kuatnya dalam menekan intensitas nyeri pascabedah laparatomi ginekologi. Kata kunci: Analgesia epidural, ketorolak, laparatomi ginekologi, parecoxib, PGE2