This study aims to reveal the aesthetic idiom of postmodernism in novel “Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu” by Intan Paramaditha. This research is qualitative approach using content analysis. ...Data are collected by inventory textual quotes that have the aesthetic characteristics of postmodernism pastiche, parody, kitsch, camp, and schizophrenia in the novel. The research results indicatefirst, the aesthetic idiom of pastiche is indicated by duplicate of other texts as a form of author appreciation of existing literary. Second, the aesthetic idiom of parody is indicated by the presence of dialogues that make up other texts in order to criticize pre-existing texts. Thirdly, the kitsch idiom is found in the presence of confusions between high-value and high-text texts aimed at disclosing the high-value text. Fourth, the discovery of female characters who have male physical characteristics without any meaning indicates the existence of camp idiom. Fifth, the idiom of schizophrenia can be found on the whole structure of an irregular novelstory.
Awal mula riset ini didasarkan pada desain busana yang dipakai penari tarian Sparkling Surabaya. Busana yang digunakan oleh para penari seakan memberikan ciri khas yang unik jika dibandingkan dengan ...tarian daerah lain. Dengan adanya hal tersebut, peneliti tertarik dalam meneliti sebuah interpretasi serta mencari tahu busana tarian Sparkling Surabaya. Tujuan riset ini yaitu untuk mendeskripsikan busana, makna yang tekandung, aksesoris dan pengaruh perubahan tata busana Tarian Suramadu. Metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan estetika fungsional digunakan dalam riset ini. Riset ini dilakukan di Kota Surabaya dengan teknik pengumpulan data yaitu observasi, wawancara serta dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan keunikan busana tari Sparkling Surabaya yaitu pada busana yang khas menggunakan sayap, sampur, mahkota dan aksesoris lain yang disertakan. Sedangkan kaitannya dengan estetika busana yang digunakan pada penari Sparkling Surabaya yaitu ada pada penciptaannya melalui eksresi gerak dan karakter dari masyarakat kota Surabaya.
Karakter suatu bangunan dibentuk oleh beberapa elemen. Diantaranya adalah elemen arsitektural. Elemen arsitektural bisa dinilai menggunakan skala penilaian kualitas estetika. Nilai estetika berkaitan ...erat dengan persepsi masyarakat. Bangunan Kolonial di Jalan Basuki Rahmat Malang memiliki karakter yang khas sehingga patut dilestarikan. Penilaian estetika bangunan merupakan langkah awal dalam upaya pelestarian bangunan Kolonial. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kualitas estetika elemen arsitektural bangunan Kolonial di Jalan Basuki Rahmat Malang. Kuesioner digunakan untuk pengambilan data. Pengukuran kualitas estetika dilakukan dengan menggunakan semantic differential scale. Masyarakat diminta menilai kualitas estetika bangunan berdasarkan persepsinya masing-masing dengan melihat foto. Data dianalisis menggunakan descriptive statistics, independent samples test, dan linier regression. Hasil penelitian menunjukan bahwa elemen arsitektural yang berdampak paling signifikan terhadap keindahan bangunan kolonial adalah fasade. Bangunan kolonial dengan nilai estetika tertinggi adalah Gereja Hati Kudus Yesus Malang.
AbstractThe purpose of this paper is to describe the visual aesthetics of the third-grade students' painting based on lines, colors, shapes, and gradations, as well as to explain the type of ...painting. The method used is a qualitative type with a descriptive approach. Data collection techniques were carried out by means of observation, interviews, and document review. The results showed that based on the elements of fine art, the work of students had their beauty based on the perspective of each person who saw it, and there were various types of paintings by students. Still, the types of paintings that often appeared in the lower classes were naturalistic and transparency types. by following under the characteristics of lower-class students. Keywords: Painting, Visual Aesthetics, Children Painting Type. AbstrakTujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan estetika visual karya seni lukis peserta didik kelas III berdasarkan garis, warna, bentuk, dan gradasi serta menjelaskan tipe lukisan. Metode yang digunakan menggunakan jenis kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan telaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan berdasarkan unsur-unsur seni rupa, karya peserta didik memiliki keindahannya masing-masing berdasarkan sudut pandang setiap orang yang melihatnya, serta terdapat tipe lukisan peserta didik yang beragam, namun tipe lukisan yang sering muncul di kelas bawah adalah tipe naturalistik dan tipe transparansi yang sesuai dengan karakteristik peserta didik kelas bawah. Kata Kunci: Seni Lukis, Estetika, Tipe Lukisan Anak.
Pendahuluan: Maloklusi dapat menimbulkan gangguan psikologis dan sosial (psikososial) akibat susunan gigi yang tidak estetik. Gangguan psikososial tersebut dapat mengukur kebutuhan dan keberhasilan ...perawatan dari sudut pandang pasien dengan lebih akurat. Pengukuran dampak psikososial akibat maloklusi dapat dilakukan dengan kuesioner Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire (PIDAQ). Penelitian ini bertujuan untuk melakukan translasi dan memvalidasi kuesioner PIDAQ dalam Bahasa Indonesia. Metode: Jenis penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional. Prosedur penelitian diadaptasi dari pedoman yang dibuat oleh International Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (RDC/TMD) Consortium Network. Tahap pertama adalah tahapan linguistik, yaitu penerjemahan PIDAQ yang dibuat oleh Klages, et al., ke Bahasa Indonesia, evaluasi terjemahan PIDAQ Bahasa Indonesia, penerjemahan kembali PIDAQ Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris, kemudian evaluasi akhir terjemahan PIDAQ Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Tahap kedua adalah tahapan uji validitas dan reliabilitas. PIDAQ dalam Bahasa Indonesia diberikan kepada 32 orang responden untuk melihat validitas dan reliabilitas PIDAQ dalam Bahasa Indonesia. Tahap ketiga adalah tahapan analisis. Hasil uji validitas dan reliabilitas dianalisis menggunakan analisis Pearson Product Moment, Intra-Class Correlation (ICC), Cronbach Alpha, dan analisis faktor menurut Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) dan Bartlett’s Test of Sphericity. Hasil: Penelitian ini menghasilkan kuesioner PIDAQ Bahasa Indonesia yang valid dan reliabel berdasarkan analisis Pearson Product Moment, ICC, Cronbach Alpha, analisis faktor menurut KMO, dan Bartlett’s Test of Sphericity. Nilai-nilai analisis tersebut telah menyamai nilai asli pada PIDAQ. Translasi tersebut terdiri dari 23 pernyataan yang dibagi dalam empat dimensi. Simpulan: Kuesioner Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire mengukur dampak psikososial dari estetika gigi pada subjek di Indonesia dan setiap item dalam kuisioner valid dan reliabel. ABSTRACT Introduction: Malocclusion will lead to psychological and social (psychosocial) disorders due to unaesthetic dental arrangement. These disorders can measure the need and success of treatment from the patient’s point of view more accurately. The psychosocial impact of malocclusion can be measured using the Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire (PIDAQ). This study was aimed to translate and validate the PIDAQ questionnaire in Indonesian. Methods: A cross-sectional study was performed with the procedure adapted from guidelines developed by the International Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (RDC/TMD) Consortium Network. The first stage was the linguistic stage, which was the Indonesian translation of PIDAQ by Klages et al., evaluation of the Indonesian translation, retranslation of the Indonesian version of PIDAQ to the original version, and final evaluation of the Indonesian to English translation of PIDAQ. The second stage was the stage of validity and reliability testing. The Indonesian version of PIDAQ was given to 32 respondents to test its validity and reliability. The third stage was the analysis stage. The validity and reliability tests results were analysed using Pearson Product Moment, Intra-Class Correlation (ICC), Cronbach Alpha, and factor analysis according to Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) and Bartlett’s Test of Sphericity. Results: A valid and reliable Indonesian version of the PIDAQ questionnaire was able to be created based on the Pearson Product Moment, ICC, Cronbach Alpha, KMO factor analysis, and Bartlett’s Test of Sphericity results. The analysis values of the Indonesian version of the PIDAQ questionnaire were close to the original version’s values. The translation consisted of 23 statements divided into four dimensions. Conclusions: The Psychosocial Impact of Dental Aesthetic Questionnaire measures the psychosocial impact of dental aesthetics on Indo-nesian subjects, and each item in the questionnaire is valid and reliable.
Unutar umjetnosti radikalnog enformela nalazimo djela izražene nepikturalnosti, nesemantičnosti i nereferencijalnosti, kao i težnju prema entropiji, raslojavanju i razjedinjavanju forme kroz ...destruktivne procese deformiranja, perforiranja, urezivanja, grebanja, gomilanja struktura i masa, fragmentacije, skidanja slojeva i spaljivanja. U ovom je radu naglasak stavljen na teoretske modele tumačenja radikalnog enformela kroz koncepte estetike ružnoće, odnosno brutalne estetike, kao što su: (1) deformacija, (2) disfiguracija, (3) neformnost, i (4) entropija – na primjerima enformelnog stvaralaštva Ive Gattina, Eugena Fellera i Marijana Jevšovara, koji su proizašli iz njihovih svjetonazora prema umjetnosti i slici. Umjetnici su intencionalno stvarali slike koje nisu »lijepe« suprotstavljajući se klasičnim vrijednostima umjetnosti i ljepote kroz opozicijski i negacijski pristup, nihilizam, destrukciju, deformiranje i poništavanje slikarske površine kao vidovima anti-estetike.
In the art of radical Informel, we encounter works with emphasised non-pictoriality, non-semantics and non-referentiality, as well as a tendency towards entropy, layering and the disintegration of form through destructive processes such as deformation, perforation, incision, scratching, the accumulation of structures and masses, fragmentation, stripping and burning. In this paper, theoretical models of interpretation for the art of radical Informel are pointed out through the concepts of the aesthetics of ugliness, i.e. brutal aesthetics, such as (1) deformation, (2) disfiguration, (3) formlessness and (4) entropy – using the example of the informal works of Croatian authors Ivo Gattin, Eugen Feller and Marijan Jevšovar, which result from their attitude towards art and painting. The artists have deliberately created paintings that are not “beautiful” by opposing the classical values of art and beauty through oppositional and negative approaches, nihilism, destruction, deformation and the abolition of the surface of the painting as forms of anti-aesthetics.
Film menjadi sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi ...lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru. Dalam penelitian ini, penulis mencoba menganalisi sebuah salah satu film yang mengangkat lokalitas budaya masyarakat Minangkabau yaitu Film Thropy Buffalosutradarai Vanni Jamin. Analisis film ini melakukan pendekatan terhadap Parodi, yang merupakan bagian dari Estetika Posmodern. Praktek budaya posmodernisme ditandai dengan suatu pergeseranyaitu dari estetika produksi ke estetika konsumsi di mana nilai-nilaipermainan dalam estetika menunjukkan kenaikan yang penuh daya. Parodi adalah satu bentuk dialog sebagaimana konsep dialog yang bertujuan mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas gaya atau karya masa lalu yang dirujuk, dan menjadi semacam bentuk oposisi atau kontras di antara berbagai teks, karya atau gaya lainnya dengan maksud menyindir, mengecam, mengkritik, atau membuat lelucon darinya. Dalam film Film Tropy Buffalo, penulis melihat bahwa film tersebut merupakan representasi dari kebudayaan minangkabau yang kemudian di parodikan sebagai bentuk perlawanan oleh pengkarya dalam melihat kehidupan masyarakt Minangkabau.
After Kant the meaning of freedom is considered not so much as inner experience, but rather as a requisite to understand the world. In this regard an act of freedom is not one among many human acts, ...but their precondition and cause. In its highest reaches freedom thus provides existence with a final possibility in which it presents itself as an aesthetic monolith. Aesthetics of freedom considers its sublimity, one that confronts the misery of suffering its deprivation. The syncope of freedom consists in itself its aesthetic feasibility as a lunge equal to reaching, but not discovering freedom, the same freedom many have viewed differently in numerous moments of aspiration through the ages, but have never discovered it in the entirety of its sublimity due to evading responsibility for it. This presentation attempts to contribute to understanding whether the philosophical concept of freedom is in fact comparable to a square circle (Arendt).